Knpbtimikanews, Timika - Hasil rapid assessment yang
dilakukan Tim Layanan Dukungan Psikososial (LDP) Kementerian Sosial menunjukkan
bahwa para penyintas mengalami cemas dan rasa takut berlebihan.
“Anak-anak ketakutan mendengar suara keras seperti suara
teriakan dan mereka akan segera berlari,” ujar Koordinator LDP Milly Mildawati
di tempat pengungsian Eme Neme Yauware, Sabtu (25/11/2017).
Pengalaman yang dialami anak-anak selama penyanderaan
ketakutan mendengar suara tembakan, kekurangan pasokan makan karena akses
keluar masuk desa dijaga oleh kelompok kriminal bersenjata.
Sedikitnya ada 1.300 orang dari dua desa, yakni Desa
Kimbely dan Desa Banti, Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua,
dilarang keluar dari kampung itu oleh kelompok kriminal bersenjata sejak Kamis
(9/11) lalu.
Sedikitnya ada 1.300 orang dari dua desa, yakni Desa
Kimbely dan Desa Banti, Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua,
dilarang keluar dari kampung itu oleh kelompok kriminal bersenjata sejak Kamis
(9/11) lalu.
Setelah aparat TNI dan Polri berhasil mengevakuasi warga
dari Kampung Banti dan Kimbeli di Distrik Tembagapura, Kementerian Sosial
segera menurunkan Tim LDP ke lokasi pengungsian untuk melakukan pendampingan
kepada korban penyanderaan.
Tim LDP terdiri dari Tim Kementerian Sosial RI, Sakti
Peksos Kab. Mimika, Guru, Relawan 1000 guru untuk Papua, Pramuka, PMI, Tagana
dan Relawan Pekerja Sosial.
“Setelah dilakukan LDP, warga merasa tenang di
pengungsian, setelah sebelumnya selalu merasa ketakutan dalam masa
penyanderaan,” ujar Milly.
Kebutuhan makan tercukupi, lanjut Milly, setelah selama
hampir dua minggu kekurangan makan karena akses keluar masuk desa dijaga oleh
Kelompok Bersenjata.
Untuk pemenuhan kebutuhan makan, disesuaikan dengan
kebiasaan makan sehari-hari di pegunungan, seperti ubi-ubian, ayam dan lalapan.
Warlex (9 tahun) merasa senang dapat mengungkapkan
perasaannya. “Saya sangat gembira bisa menulis apa yang saya rasakan. Saya
ingin segera pulang ke rumah agar bisa main bola dengan teman-teman.”
Upacara bakar batu yang merupakan kearifan lokal
dilakukan sebagai simbol/bentuk rasa syukur dari penerimaan masyarakat Timika
terhadap penyintas yang berasal dari Desa Banti dan Kimbeli.
“Kegiatan diikuti oleh
semua Penyintas dan bisa mengurangi kecemasan dan ketakutan mereka, dan juga
memberikan rasa tenang karena sudah secara adat diterima oleh masyarakat
Timika,” pungkas Milly